Thursday, June 12, 2008

perkenalan

ini tulisan ayah yang menggambarkan 'hari itu' :). Hari ketika ibu dan babe bertemu ayah ntuk pertama kalinya ....

Waktu itu ibu dan babe sengaja dateng ke Jakarta (waktu itu aku masih tinggal di rumah budhe Siti di Rambutan) beserta seluruh kluarga (si embah, simak, dhe' dewi, dhe totok, bulek nur, bulek sri, termasuk si kecil daffa) Khusus untuk melihat calon menantunya ...

Ini adalah kesan yang ditangkap ayah waktu pertama kali bertemu mereka ....


Jakarta mendung hari ini, matahari seperti enggan menampakkan dirinya. Sejak malam hingga pagi tadi hujan turun tiada henti, membuat siapapun lebih memilih bersembunyi dibalik hangatnya selimut. Tapi aku punya janji, dan harus segera pergi.
Maka jam 8.30 pagi tadi kupaksa beranjak dari tempat tidur, mandi, bersisir untuk kemudian segera menemuinya di kantor. Ah… kenapa aku selalu terlambat ketika berjanji kepadanya. Kenapa aku selalu rajin membuatnya terkadang kesal karena kebiasaanku ini. “Tidak sensitif …!” dengan nada pelan tapi pasti kalimat itu biasanya meluncur. Dan aku merasa bersalah mendengarnya.


Hujan tetap turun dengan derasnya sampai kami tiba disana. Tanpa payung, atau apapun yang bisa melindungi kami dari guyuran sang hujan, kuputuskan untuk melangkah saja menuju rumahnya. Tentunya kami jadi sedikit basah kuyup, dan kamu mempersilahkan aku masuk ke rumah lewat pintu samping.
Kamu sodorkan kepadaku sehelai handuk, dan kuseka rambut, wajah dan tanganku yang kuyup karena sang hujan. Juga semua keraguan dan prasangka yang menghinggapiku. Maafkan sebelumnya, ini kali pertamaku bertemu dengan keluargamu. Dan aku tidak punya pengalaman semacam ini sebelumnya.


“Sudah tahu Jogja?”Pertanyaan Mbahmu yang masih gesit di usianya yang sudah 80 tahun lebih mengawali perkenalan ini. Pertanyaan yang diucapkan dengan hangat, ramah dan apa adanya. Pertanyaan yang begitu banyak mengandung arti buatku. Tentunya mereka menakarku pada saat itu. Tapi aku tidak keberatan. Jabatan tangan babemu yang erat, anggukan lembut dari ibumu, budhe-budhemu, sepupu-sepupumu, semuanya terasa ringan seolah mempersilahkanku merasakan sendiri nuansa kultur asalmu. Hati nurani setiap orang biasanya tak pernah berbohong, dan aku merasa nyaman dengan sambutan kalian. Tak terbersit dalam benakku bahwa semua ini kepura-puraan. Wajah-wajah yang dihiasi senyum tulus itu meyakinkanku.


Kita memang berasal dari dua kultur yang berbeda. Terbentang jarak yang cukup jauh antara daerah asalmu dengan daerah asalku. “Oooh.. ! Jauh mana Mbandung sama Jakarta?” begitu celoteh Mbahmu. Kupikir aku bakal kesulitan menyesuaikan diri dengan kebiasaan keluargamu. Aku sama sekali tidak paham bahasa ibumu. Seperti halnya juga kamu mengernyitkan dahi ketika aku bicara dengan bahasa ibuku. Tapi ketika tanpa sungkan Babemu mengajakku sholat Dzuhur berjamaah, bicara-bicara sebagaimana biasanya ketika aku ngobrol dengan bapakku, ditimpali pertanyaan dan penjelasan dari ibumu, dari budhe-budhemu yang bersahabat itu, aku merasa semakin sirna saja kekhawatiranku.
Pada titik ini aku bersyukur ditakdirkan lahir dan besar di negeri ini. Dibalik semua perbedaan kultur, bahasa, kebiasaan, ternyata kita tetap bisa saling memahami. Aku bisa paham alam pikiran Babemu, walaupun sesekali aku melirikmu, meminta bantuanmu untuk menerjemahkannya untukku. Aku bisa merasakan kerinduan Babemu akan hadirnya pria dewasa yang bisa diajaknya bertukar pikiran.


“Sudah tahu Jogja?”Sekali lagi Mbahmu menimpali obrolan kita. Ya, Mbah… dengan senang hati aku mau mencobanya. Para Priyayi-nya Umar Kayam yang pernah dua kali kubaca rasanya cukup membantuku untuk memahami alam pikiran kalian. Harapanmu juga harapan kami, doakan saja kami dengan mulus bisa melalui proses ini.


Makan bersama tadi sore membuatku semakin nyaman, lalu lalang saudara-saudaramu, celoteh-celoteh anak-anak kecil saudara-saudaramu itu, mengingatkanku akan rumah. Aku juga sering melihat pemandangan semacam itu ketika semua keluargaku berkumpul di rumah kakek. Aku terkesan ketika sepupumu mengajak anak-anaknya yang masih kecil-kecil itu sholat Ashar berjama’ah. Aku ingin kelak kita juga punya kebiasaan seperti itu.
Dan ketika saatnya aku harus pamitan kepada semuanya, langkahku terasa ringan. Kalian semua telah memberiku pengalaman yang berkesan. Terima kasih. Saat mencegat taksi untuk kembali ke kost, aku jadi ingat lagi pertanyaan Mbahmu itu :


“Sudah tahu Jogja ?”